The Most Engaging Media For Millennials and GEN Z

Fakta G30S: Benarkah 6 Jenderal Disiksa PKI Begitu Kejam?
Diorama peristiwa G30S/PKI di Monumen Pancasila Sakti, di Pondok Gede, Jakarta Timur. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Fakta Dan Mitos

Fakta G30S: Benarkah 6 Jenderal Disiksa PKI Begitu Kejam?

Minggu, 26 September 2021 17:49 WIB 26 September 2021, 17:49 WIB

INDOZONE.ID - Tahun ini, gonjang-ganjing pemutaran ulang film G30S/PKI tidak terdengar seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, isu PKI tetap saja kembali dimunculkan saban bulan September tiba.

Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan singkatan G30S sudah berlalu 56 tahun yang lalu.

Secara umum, gambaran paling dominan yang ada di benak masyarakat ketika berbicara tentang G30S adalah betapa kejamnya orang-orang PKI pada masa itu.

Saking kejamnya, disebut-sebut bahwa orang-orang PKI mencongkel mata 6 jenderal yang diculik dan mengiris-iris kemaluan mereka dengan pisau silet.

Bayangan itu tidak terlepas dari apa yang dipertontonkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang kerap diputar ulang saban tahun.

Poster film Pengkhianatan G30S/PKI. (Ist)
Poster film Pengkhianatan G30S/PKI. (Ist)

Namun, benarkah demikan?

Dalam pelbagai literatur, baik berupa catatan sejarah maupun kesaksian orang-orang yang hidup pada masa itu, disebutkan bahwa film produksi era Orde Baru itu merupakan penyesatan sejarah dan bentuk propaganda yang sengaja diciptakan oleh Soeharto untuk melegitimasi pembantaian terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang beraliran kiri, yang notabene adalah musuh politiknya pada masa itu.

Salah satu dugaan penyesatan sejarah yang terdapat dalam film itu antara lain adalah soal penyiksaan 6 jenderal yang diculik. 

Martin Aleida, salah satu eks tahanan politik (ekstapol) 1965 yang hingga kini masih hidup, dalam memoarnya yang berjudul 'Romantisme Tahun Kekerasan: Sebuah Memoar' (Somalaing Art Studio, 2020), menulis bahwa tidak benar para jenderal disiksa (mata dicongkel dan kemaluan diiris pakai silet) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua di wilayah Lubang Buaya di Jakarta Timur. 

"Mata mereka dicongkel. Kemaluan mereka diiris menggunakan silet. Kebohongan yang memanas-manasi, untuk membakar kebencian itu disebarkan melalui media yang di bawah kontrol angkatan darat...," tulis Martin pada halaman 10 bukunya itu.

Sosok yang paling marah atas fitnah itu adalah Bung Karno, Presiden pertama RI. Apalagi, Soekarno merujuk hasil visum et repertum enam jenderal yang tewas itu, yang keluar pada 6 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata yang dicongkel.

"Betapa marah dan gemasnya Bung Karno menangkis fitnah tersebut, sehingga dia menggunakan kata-kata yang tak senonoh, yang tak pernah dia ucapkan seumur hidupnya...," lanjut Martin di halaman 11.

Bukti bahwa hal itu memang merupakan penyesatan sejarah diperkuat dengan kesaksian Dokter Liauw Yan Siang, dokter yang mengautopsi keenam jenazah jenderal tersebut. Sesuai hasil visum et repertum yang dilakukannya, keenam jasad yang ia periksa tidak mengalami penyiksaan seperti yang digembar-gemborkan oleh Soeharto.

Dokter Liauw adalah satu-satunya dokter yang memeriksa mayat jenderal korban penculikan pada malam 30 September 1965, kecuali jenazah Kapten Anumerta Pierre Tendean (ajudan Jenderal A.H Nasution), yang diperiksa secara terpisah oleh Dokter Lim Joe Thay.

"Iya. Kecuali yang Tendean itu bukan saya yang kerjakan [tertawa]. (yang kerjakan) Dr Lim," kata Dokter Liauw Yan Siang, ketika diwawancarai oleh Alfred D Ticoalu di Amerika Serikat tahun 2000 silam.

Ist
Salinan hasil visum et repertum jenderal yang mati pada Gerakan 30 September 1965 (dokumen Alfred Ticoalu)

Dokter Liauw Yan Siang sendiri memang hanya memegang salinan hasil visum itu. Ia tidak memegang yang asli. Namun, ia yakin bahwa itu memang hasil visum yang dilakukannya.

"...Dr. Frans Pattiasina yang ditugaskan untuk menandatangani…, dan suruh ngetiknya semua dia yang ditugaskan. Tapi dia nggak mengerjakan pemeriksaan ini. Maka dia datang pada saya untuk bantuan itu…, mengoreksi apa-apa yang saya kerjakan itu, apa bener semuanya di sini," katanya, seperti dikutip dari laman Indoprogress.

Ist
Dokter Liauw Yan Siang (dokumen Alfred D Ticoalu)

Propaganda Melalui Produk Kesenian

Wijaya Herlambang, dalam disertasinya di Universitas Queensland (UQ), Australia, yang kemudian dibukukan dengan judul 'Kekerasan Budaya Pasca 1965' (Marjin Kiri, 2013), mengungkap bahwa upaya Orde Baru untuk melegitimasi anti-komunisme di Indonesia, juga dilakukan melalui jalan kesenian dan kebudayaan. 

Sejumlah seniman dan budayawan dilibatkan untuk menghasilkan karya-karya yang membenarkan bahwa PKI ataupun komunis itu kejam, jahat, dan tak bertuhan. Arifin C Noor dan Arswendo Atmowiloto, termasuk di antaranya.

Almarhum Herlambang juga membeberkan bahwa Pemerintah Amerika Serikat berada di balik rekayasa sejarah itu. Peran Pemerintah AS dalam memerangi komunisme di Indonesia dilakukan dengan menunggangi oposisi sayap kanan yang berseberangan dengan Soekarno, yang tak lain adalah Soeharto.

"Motivasi AS sangat jelas, yaitu: pertama, AS menyadari potensi kekayaan alam Indonesia yang besar –terutama minyak– harus dikuasai. Kedua, AS waspada terhadap perkembangan PKI yang pesat sejak 1950; pascakekalahan pada 1948. Melalui Congress for Cultural Freedom (CCF) –sebuah lembaga berpusat di Paris– CIA bekerja dengan memberikan pengaruh terhadap individu yang memiliki posisi strategis di bidang politik dan kebudayaan. Misi utama CCF adalah melepaskan tautan para seniman dan intelektual dari komunisme," tulis Herlambang dalam bukunya itu.

Amerika, yang konon memusuhi ideologi komunisme dan sejenisnya (Marxisme, Leninisme, sosialisme), disebut Herlambang sangat berperan dalam memerangi komunisme di Indonesia.

"Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan sepenuhnya atas upaya kekuatan politik dan kebudayaan pro-barat dalam gerakannya menghadang laju komunisme di Indonesia," tulis Herlambang dalam bukunya itu.

Selain bantuan militer dan ekonomi, Pemerintah AS juga menggelontorkan bantuan sangat besar untuk “memajukan” pendidikan dan kebudayaan di Indonesia melalui berbagai institusi filantropi dan kebudayaan untuk membentuk aliansi anti-komunis di Indonesia. 

"Dukungan ini, sejalan dengan kebijakan politik luar negeri AS. Di Indonesia pola penghancuran komunisme dilakukan dengan mendiskreditkan politik dan kebudayaan komunis," lanjut Herlambang.

Petani Dibantai

Menurut Martin, yang harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain sebelum akhirnya tertangkap di Jakarta, suasana pascagerakan 30 September 1965 kala itu begitu mencekam. Bukan hanya orang-orang yang terlibat langsung dalam gerakan itu saja yang diburu, tetapi juga semua orang yang berafiliasi dengan PKI atau berideologi kiri, termasuk para petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia.

Salah satu pembantaian petani yang ia ketahui, terjadi di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, para petani itu dibantai usai ditunjuk oleh pastur saat tengah beribadah di gereja.

"Di Flores, saat umat sudah memenuhi gereja, dengan mengabaikan bisikan kasih sayang dari Roh Kudus, di otak dan hatinya, seorang pastur menunjuk satu per satu, siapa di antara umatnya, yang duduk dengan setia itu, yang menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah," tulis Martin pada halaman 18.

Padahal, petani-petani itu sama sekali tak tahu menahu apa yang terjadi di Jakarta ketika para jenderal dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

"...ujung jari pastur itu berubah tidak menjadi tautan doa, tetapi perintah pembinasaan yang dikutuk Bapa di surga. Korban adalah mereka yang tak berdaya, tak punya kesempatan untuk membela diri terhadap tuduhan terlibat dalam pembunuhan para jenderal nun jauh di seberang laut, di Jakarta," lanjut Martin pada halaman 19.

Peristiwa kelam yang pernah terjadi di Flores itu pun pernah dikutuk oleh mantan Gubernur NTT, Ben Mboi, dalam memoarnya yang berjudul "Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja' (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011). 

"Benar-benar merupakan the blackest and the balckest months of my life, dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin," tulis mantan anggota resimen Para Komando Angkatan Darat itu dalam memoarnya.

Dalam buku itu Ben juga menulis:

"Pada suatu hari ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling Kota Ende, lalu dipamerkan di suatu tugu di tengah kota. Istri saya memanggil Kepala Seksi Satu Kodim, 'Sersan, kalau semua wanita dan anak-anak di Kota Ende, termasuk anak-istri sersan mengalami histeria karena menonton dua kepala orang tanpa badan itu, siapa yang akan menangani dan bertanggungjawab?...Akhirnya kedua kepala itu dikuburkan. Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup!"

Artikel Menarik Lainnya:

TAG
Abul Muamar
Abul Muamar
Editor
JOIN US
JOIN US