Bukan Pemaksaan, Ini Proses Kawin Tangkap di Sumba yang Sebenarnya

- Jumat, 10 Juli 2020 | 11:25 WIB
Ilustrasi.(freepik)
Ilustrasi.(freepik)

Jika kamu pernah melihat video atau mendengar kasus mengenai kawin tangkap yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sudah dianggap lazim oleh masyarakat Sumba, mungkin kamu akan bertanya-tanya bagaimana awal mula hal kontroversial yang dianggap sebagai tradisi tersebut awalnya bermula hingga kini sudah menjadi praktik lazim bagi masyarakat setempat.

Sebagai penjelasan singkat, proses kawin tangkap yang akhir-akhir ini dilakukan oleh masyarakat Sumba dilakukan dengan cara yang terbilang melenceng dan memaksa.

Jadi, beberapa orang dari pihak calon mempelai pria akan secara tiba- tiba mendatangi calon mempelai perempuan, ketika si perempuan tersebut sedang sendirian, baik itu di tempat umum seperti terminal atau tempat-tempat lainnya.

Kemudian, calon mempelai perempuan yang biasanya ditargetkan berumur antara 19 tahun hingga awal 20-an tahun tersebut diajak secara paksa untuk ikut ke rumah calon mempelai pria.

Tak jarang meskipun perempuan tersebut sudah menangis dan memberontak tidak ingin dibawa, namun pihak dari calon mempelai pria tersebut tidak mempedulikannya dan justru menggotong perempuan tersebut dengan paksa.

Menurut sejumlah pengamat budaya yang tertarik akan fenomena unik di masyarakat pedalaman Sumba ini menuturkan, bahwa sebenarnya kegiatan kawin tangkap tersebut bukanlah merupakan sebuah tradisi, melainkan hanyalah suatu bentuk penyimpangan praktik sosial yang diterapkan oleh masyarakat setempat secara terus-menerus, sehingga lama-kelamaan hal tersebut menjadi sesuatu yang sudah dianggap lazim.

Sehingga tak jarang ada saja pihak yang mengaku bahwa kawin tangkap merupakan tradisi turun-temurun mereka dan menjadikan hal tersebut sebagai pembenaran atas perilaku yang mereka perbuat. Senada dengan pendapat yang diungkapkan para pengamat budaya, ternyata menurut sebagian penduduk asli Sumba yang menentang kawin tangkap menyatakan bahwa proses kawin tangkap yang belakangan ini menjadi sorotan, sebenarnya sudah mengalami pergeseran nilai dari kawin tangkap yang dilakukan pada zaman dahulu.

-
Pengantin dengan adat NTT. (Instagram/@dierabachir)

Awal mula kawin tangkap dilakukan, pihak calon mempelai perempuan masih memiliki peran dalam prosesinya. Selain itu syarat-syarat tertentu juga diterapkan dalam rangkaian kawin tangkap pada masa itu. Misalnya calon mempelai pria yang ingin melakukan kawin tangkap harus merupakan masyarakat dari golongan atas, sebab ketika pernikahan berlangsung, pihak pria harus membayarkan mahar kepada pihak perempuan dalam jumlah yang tak sedikit jumlahnya.

Selain itu, calon mempelai perempuan sebenarnya sudah dipersiapkan sebelum nantinya ditangkap oleh pihak mempelai pria. Jadi tidak ‘diambil’ secara tiba-tiba seperti banyaknya kejadian akhir-akhir ini. Pada masa itu pula, calon mempelai perempuan akan didandani terlebih dahulu menggunakan pakaian adat dan aneka perhiasan, termasuk gelang yang terbuat dari gading. Kemudian calon mempelai pria pun memakai pakaian adat lalu menunggangi kuda.

Dalam adat istiadat, setelah calon mempelai perempuan berhasil ‘ditangkap’ oleh calon mempelai pria, keluarga calon mempelai pria pun menginformasikan kepada keluarga dari pihak calon mempelai perempuan bahwa mereka telah menangkap anak gadis mereka. Setelah itu barulah prosesi pernikahan lebih lanjut dilaksanakan antara kedua keluarga.

Sebenarnya, jika kawin tangkap dilakukan dengan mengikuti adat istiadat, menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia. Sayangnya, praktik kawin tangkap saat ini telah melenceng.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

8 Arti Ular Masuk Rumah Menurut Primbon Jawa

Senin, 15 April 2024 | 12:00 WIB
X