Peluru karet lazim digunakan oleh aparat keamanan di berbagai belahan dunia, untuk menghadapi demonstrasi atau unjuk rasa yang berkembang menjadi anarkis. Misalnya seperti penggunaan peluru karet dalam aksi anarkis unjuk rasa penolakan ekstradisi di Hong Kong beberapa waktu lalu.
Di Indonesia, peluru karet pun pernah digunakan, misalnya pada Peristiwa Mei 1998. Penggunaan peluru karet di Indonesia diatur Perkap Nomor.1 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Ada tahapan-tahapan yang jelas.
"Penggunaan senjata api ada levelnya. Tembakan salvo dengan peluru hampa, kemudian tembakan dengan menggunakan peluru karet, tembakan pantul 15 derajat, tembakan dengan peluru tajam juga menggunakan tembakan pantul dulu 45 derajat," jelas Karo Penmas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Kamis (23/5).
Hasil penelitian tim riset Amerika Serikat yang diumumkan pada tahun 2017 lalu, tembakan peluru karet menyebabkan kematian pada tiga (3) persen korbannya. Data ini berdasarkan 26 laporan ilmiah yang diterbitkan mengenai cidera, kecacatan dan kematian akibat peluru karet.
Data yang diambil dari tahun 1990 hingga 2017 di Israel, Palestina, Amerika Serikat, India, Irlandia Utara, Swiss, Turki hingga Nepal ini, berhasil mengumpulkan 1.984 korban tembakan peluru karet. Jumlah yang tewas adalah 53 korban (tiga persen).
"Sementara sekitar 300 (15,5 persen) korban yang selamat, menderita cacat tetap sebagai akibat langsung dari peluru karet. Biasanya terjadi di sekitar leher dan kepala. Kecacatannya meliputi kebutaan, pengangkatan limpa, hingga cidera usus perut," jelas penelitian tersebut.
Untuk diketahui, peluru karet pertama kali diperkenalkan oleh tentara Inggris pada tahun 1970-an, untuk menindak perusuh di Irlandia Utara, serta pengunjuk rasa di Afrika Selatan pada tahun 1980-an.