Pada zaman Romawi kuno, hubungan seksual tampaknya menjadi hal yang dianggap kebutuhan dan tidak lagi tabuh untuk diperbincangkan. Bahkan batasan untuk melakukan hubungan seksual juga tidak memiliki aturan yang jelas.
Aturan yang dimaksud adalah bagaimana seseorang melakukan hubungan seks dengan orang lain. Seksualitas diartikan sebagai tingkah laku, baik aktif atau pasif, baik dalam hubungan sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin.
Baca Juga: Fakta Prajurit Thebes, Lebih Kuat dari Sparta yang Ternyata para Homoseksual!
Dikutip nationalgeographic, seorang pria dewasa Romawi kuno sah-sah saja melakukan hubungan seksual dengan pria atau anak laki-laki yang dianggapnya menarik. Hal tersebut dianggap dapat diterima sesuai dengan hukum Lex Scantania.
Lex Scantania merupakan hukum yang dibuat untuk menghukum setiap warga negara laki-laki dengan status tinggi karena bersedia berperan dalam perilaku seksual pasif.
Pada dasarnya aturan tersebut dibuat untuk mengawasi sifat maskulin individu dengan menegakkan bahwa warga negara Romawi yang lahir bebas mengambil peran 'atas' atau 'aktif' dalam seks.
Hubungan seks sesama jenis dengan pelacur, budak, atau tawanan perang dapat diterima karena tidak mengancam kejantanan orang merdeka selama warga negara Romawi mengambil peran aktif dalam penetrasi.
Namun, aktivitas seks yang sama di antara sesama tentara dengan status yang sama dapat dihukum mati.
Lex Scantinia membebaskan laki-laki dari tuntutan dalam kasus pemerkosaan atau hubungan seksual pasif yang dipaksakan. Namun, akan dianggap sebagai kejahatan besar bagi seseorang yang lahir bebas untuk memerkosa orang lain, tindakan seperti itu membawa hukuman mati.
Hal tersebut sangat berbeda dari praktik sesama jenis di Yunani kuno di mana hubungan homoseksual antara laki-laki dengan status sosial yang sama dianggap dapat diterima.
