Sudah 17 tahun berlalu semenjak aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib tewas akibat diracun saat menumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Namun sampai saat ini, kasus tersebut masih menemui titik terang kendati seorang pilot Pollycarpus sudah dihukum dan dipenjara.
Bahkan sampai saat ini, kronologi kejadian masih simpang siur, termasuk apakah benar Pollycarpus bersalah.
Seperti yang diungkap pakar forensik terkemuka Indonesia, mendiang dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F dalam bab "30 Menit Kematian Menjemput Munir" di bukunya "Indonesia X-Files." Dalam buku tersebut, kasus tersebut ditutup dengan cara yang tidak mengenakkan pasca sang pilot dijadikan tersangka.
Hari kejadian.
6 September 2004, Munir Said Thalib yang akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda menaiki pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA-974 tujuan Amsterdam pada pukul 21.30 WIB.
Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain.
Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang.
Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G.
Dua kesaksian perpindahan kursi.
Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah Polly dan seorang purser bernama Brahmanie yang mempersilahkan Polly duduk di kelas premium karena kosong. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi.
“Saat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak, nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.”
Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita,
“Saya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ‘Wah Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’ Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja.”
Baca Juga: Heboh Video Pasangan Gancet, Sang Wanita Teriak Lirih Minta Tolong Sampai Didoakan Ustadz
Jus jeruk dan mie goreng.
Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel, lalu Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya.
Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas.