Gas air mata disebut-sebut menjadi penyebab tewasnya ratusan orang pada kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022).
Gas yang mengandung zat kimia chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR) itu ditembakkan oleh petugas kepolisian di tengah kericuhan suporter Arema FC.
Namun tahukah kamu sebelum banyak digunakan untuk mengatasi kerusuhan, gas air mata merupakan senjata kimia pada Perang Dunia I.
Dikutip dari buku sejarah tentang gas air mata berjudul ‘Tear Gas: From the Battlefields of World War I to the Streets of Today,’ saat Perang Dunia I (1914-1918), semua ahli kimia berlomba-lomba menciptakan senjata kimia dengan tujuan bisnis.
Salah satu senjata yang diciptakan adalah gas air mata. Senjata-senjata kimia ini banyak dicari kalangan militer, dan produksinya terus berlanjut hingga hari ini.
Baca juga: Terjadi di Kanjuruhan, Benarkah Gas Air Mata Bisa Membunuh Manusia?
Sebab seusai Perang Dunia I atau sekitar dekade 1920-an, gas air mata menjadi hal biasa di gudang senjata polisi di Amerika Serikat.
Alasannya, kepentingan bisnis untuk senjata kimia mulai muncul di Amerika Serikat lewat Chemical Warfare Service.
Gas Air Mata Senjata Berbahaya
Penggunaan gas air mata terkesan seperti kekerasan karena menyebabkan kesakitan tanpa meneteskan darah.
Bahkan aparat keamanan dapat menggunakanya secara cepat dan tidak perlu menggunakan pelatihan yang merepotkan.
Lebih mudah, hal ini membuat aparat punya citra baik di media karena mengubah protes massa jadi acak-acakan tanpa membuat 'kekerasan', dan tidak terkesan jahat.
Berangsur-angsur, gas air mata mengalami modernisasi oleh ahli kimia pada 1950-an. Ada banyak perubahan, beberapa di antaranya tidak digunakan dalam Perang Dunia I.
Baca juga: Usai Tragedi Kanjuruhan, Viral Video The Jakmania Minta Polisi Tak Tembakkan Gas Air Mata
Bahkan, gas air mata yang dipakai kepolisian saat ini tidak jauh berbeda dari versi 1950-an.