Pejabat Dapat Julukan dari Masyarakat, Sosiolog: Mereka Harus Siap

- Jumat, 7 Februari 2020 | 18:06 WIB
Kiri: Anies Baswedan (INDOZONE/Arya Manggala), Kanan: Risma Tri Maharani (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Kiri: Anies Baswedan (INDOZONE/Arya Manggala), Kanan: Risma Tri Maharani (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Politikus kerap mendapat julukan dari masyarakat. Terkadang julukan itu bernada negatif. Sebut saja kasus yang tengah ramai yaitu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang disebut kodok oleh netizen. 

Mendapat julukan kodok, perempuan yang akrab disapa Risma itu meradang. Dirinya melaporkan sang pengguna media sosial.

-
Risma Tri Maharani (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Aksi Risma melaporkan orang yang memanggilnya dengan julukan kodok itu menjadi sorotan beberapa pihak. Tak sedikit yang membandingkan sikap Risma dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Anies juga menerima berbagai julukan dari masyarakat. Salah satunya yang sempat ramai ketika wajah Anies dibuat meme seperti tokoh Joker. Namun ketika itu dirinya tidak menggubris sang pembuat meme. Hal inilah yang kemudian dibandingkan oleh masyarakat.

-
Anies Baswedan (Instagram)

Menurut sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi, pemberian julukan sebenarnya adalah hal yang biasa. Bahkan sejak kecil masyarakat sudah terbiasa dengan pemberian label. Contoh, anak-anak yang memanggil nama orangtua temannya sebagai bahan ejekan. 

"Kalau berkaitan dengan pejabat, labeling (memberi julukan) itu bagian dari politik. Tapi si pemberi label tidak memisahkan antara kebijakan dengan personal, jadi mencampurkan," ujar Sigit saat dihubungi Indozone melalui sambungan telepon, Jumat (7/2/2020).

 

Dirinya menilai, masyarakat memberikan julukan kepada pejabat atau tokoh politik tidak terlepas dari pernyataan dan kebijakan. Di sisi lain, ketika seseorang terjun dalam politik, ia harus sudah menyadari jika nanti mendapat julukan. Menurut Sigit, sejak berkampanye para pejabat harus sudah siap mendapat julukan dari masyarakat.

"Jadi tidak boleh memilah-milah, mana urusan pribadi, mana kebijakan. Suka atau tidak suka, begitu seseorang menjadi pejabat, ia adalah bagian dari publik. Maka harus siap menerima kritik sepedas apapun dari publik," kata Sigit.

Di era demokrasi dan kuatnya media sosial, pejabat tidak bisa 'alergi' terhadap publik. Sigit menekankan, para pejabat bisa saja wajahnya disamakan dengan hewan. Walaupun itu bagian dari penghinaan, pejabat harus bisa menerimanya. Sebab julukan yang diterima bukan secara personal, melainkan bagian dari perilaku kolektif kritik yang tidak suka dengan kebijakan.

"Pejabat yang alergi terhadap publik itu ada di sistem politik era otoriter yang eksekutif heavy sehingga mereka bisa dengan mudah menghindari kritik dan mempolisikan orang yang mengkritik dengan alasan penghinaan atau pencemaran nama baik. Tapi di era sekarang, di era demokrasi itu tidak ada," pungkas Sigit.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X