Meski Lulusan UI, Pelaku Mutilasi Kalibata City Tak Jauh Beda dengan Penjahat Lainnya

- Minggu, 20 September 2020 | 16:19 WIB
Rekonstruksi kasus mutilasi Kalibata City di Apartemen Mension, Jakpus. (Dok. Humas Polda Metro Jaya).
Rekonstruksi kasus mutilasi Kalibata City di Apartemen Mension, Jakpus. (Dok. Humas Polda Metro Jaya).

Karena alasan untuk mengincar harta korban, pasangan Laeli Atik Supriyatin (27) dan Djumadil Al Fajri (26) akhirnya membunuh dengan memutilasi Rinaldy Harley Wismanu (33) di Apartemen Mension, Jakarta Pusat sebelum akhirnya dibawa ke Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Keduanya pun menggasak rekening korban dan menarik uang sebesar Rp97 juta. 

Masyarakat pun dibuat geram atas motif pembunuhan tersebut sampai harus memutilasi korban. Apalagi salah satu pelaku Laeli Atik Supriyatin (27), diketahui merupakan sarjana alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI). Sehingga banyak yang mempertanyakan bagaimana seorang dengan pendidikan tinggi seperti itu bisa berpikiran merencanakan kejahatan tersebut.

Sejatinya, kejahatan bermotif harta tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat pendidikan atau almamater orang tersebut berasal. Sang pelaku mutilasi ini tak ubahnya dengan para pelaku kriminal dengan motif serupa.

-
Salah satu pelaku kasus mutilasi di Polda Metro Jaya, Jakarta, (INDOZONE/Samsudhuha Wildansyah)

Hal itu juga diungkap oleh kriminolog dari Universitas Indonesia, Ferdinand Andi Lolo saat dihubungi Indozone via telepon, Minggu (20/9/2020). Motif pelaku mutilasi di Apartemen Kalibata City memiliki prinsip yang sama dengan pelaku kejahatan lainnya dan tidak dipengaruhi latar belakang pendidikan.

"Prinsipnya sih sama saja mereka melakukan itu. Tapi  apa yang mereka lakukan terhadap korban setelah terjadi kejahatan itu kan situasional. Sebenarnya itu kan pencurian, yang kemudian dengan pemberatan. Pemberatannya itu yang menyebabkan kesakitan pada korban. Itu faktor yang memberatkan. Yang membuat heboh ini kan dimutilasi. Kalau cuma ditipu aja, kemudian dia pergi dan pelakunya hidup, ya itu tidak akan jadi berita besar," tutur Ferdinand kepada Indozone. "

"Nggak pengaruh dengan pendidikan. Orang melakukan kejahatan kan ada berbagai dorongannya yah. Jadi ketika dia sudah dikuasai oleh keinginan jahat, pendidikan tidak ada pengaruhnya," tambah sang kriminolog.

Senada dengan hal tersebut, psikolog Gita Ekapratiwi yang dihubungi terpisah juga mengungkapkan bila tak menutup kemungkinan seorang dari latar pendidikan tinggi juga bisa melakukan kejahatan lantaran tergiur harta korbannya. 

"Tentunya latar belakang pendidikan tidak menjamin orang bisa mengambil keputusan secara logis. Terutama kalau terkait situasi yang sangat stressful atau penuh tekanan," ujar Gita saat dihubungi Indozone.

-
Konferensi pers kasus mutilasi di Apartemen Kalibata City, Jaksel. (INDOZONE/Samsudhuha Wildansyah)

"Saya ngga tahu apakah pelaku misalnya punya utang yang mengancam kehidupannya sehingga membuat dia nekat melakukan pembunuhan. Nah ya motivasi seseorang itu melakukan sesuatu, apapun itu, dorongan paling kuatnya adalah dari sisi emosional. Terkadang logika suka ‘kalah’ dengan pertimbangan emosi," jelas psikolog yang saat ini membuka praktek di Bandung tersebut.

Keinginan mendapatkan harta korban tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi sang pelaku, ditambah dengan situasi pandemi seperti ini. Apalagi saat ini kedua pelaku mengaku kalau mereka tak memiliki pemasukan karena pandemi corona yang melanda Indonesia saat ini.

"Ada orang-orang kesulitan keuangan tapi tidak mau menyesuaikan dengan kesulitan keuangannya, masih tetap ingin dengan gaya hidupnya saat masih punya uang. Sehingga mereka memiliki krisis keuangan. Nah ada orang yang mau memutar otaknya untuk mencari cara untuk memenuhi gaya hidupnya. Ada juga yang memilih jalan pintas dengan cara melakukan kejahatan," jelas Ferdinand lebih jauh. 

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X