Pandemi Sudah Nyaris 2 Tahun, Kok Masih Ada Panic Buying? Ini Kata Psikolog

- Rabu, 7 Juli 2021 | 14:15 WIB
Warga berbelanja di supermarket (Ilustrasi/REUTERS/Siphiwe Sibeko)
Warga berbelanja di supermarket (Ilustrasi/REUTERS/Siphiwe Sibeko)

Psikolog klinis dewasa dari UI, Mega Tala Harimukthi mengomentari fenomena panic buying yang kembali terjadi di Indonesia. Menurutnya, hal ini seharusnya tidak terjadi lagi karena masyarakat sudah punya pengalaman di tahun lalu saat penerapan PSBB.

Pembatasan tidak perlu disikapi panik karena takut produk sehari-hari akan langka.

"Kondisi ini kami hanya dibatasi untuk tidak keluar kalau tidak ada kepentingan. Ini untuk kebaikan kita dan keluarga. Sebenarnya kita tahu kebutuhan bulanan keluarga apa saja, kita punya list-nya, semisal vitamin, makanan, cukup ikuti list itu, jadi tidak perlu bersikap cemas sampai panik," kata Tala, dikutip dari Antara, Rabu (7/7/2021).

Tala mengatakan memborong barang juga tak akan membuat perasaan jadi lebih baik. Malah, panic buying ini yang mendorong harga barang melonjak dan terjadinya kelangkaan.

Warga harusnya belajar dari pengalaman tahun lalu di mana masker atau minuman tertentu jadi langka karena diborong oleh masyarakat. Tala menekankan panic buying di masa PPKM Darurat adalah hal yang tidak logis.

"Gimana enggak, nyari vitamin saja susah, bahkan oximeter jadi harganya melambung dan akhirnya karena tidak semua berpikir positif dan baik. Akhirnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang ini untuk menjadi sebuah peluang bisnis," kata Tala.

Tala mengatakan orang yang melakukan pembelian secara impulsif atau panic buying, biasanya mudah cemas dan mengambil keputusan secara emosional.

"Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan secara emosional, akhirnya otak emosional dia bekerja sehingga sangat cepat, tidak punya pertimbangan matang, sangat impulsif, sehingga saat melihat orang lain (baik itu foto maupun video) belanja barang tertentu yang banyak dia mulai panik," tegasnya.

Di sisi lain, panic buying ini bisa membuat orang lainnya menafsirkan bahwa saat ini kondisi sangat berbahaya, menakutkan, dan penuh ketidakpastian. Padahal, faktanya tidak seperti itu.

"Otomatis dia jadi ikut seperti orang yang dia lihat," ujar Tala.

Artikel Menarik Lainnya

Editor: Zega

Tags

Rekomendasi

Terkini

X