Pemerintah Bikin Aturan Pajak Baru untuk Sektor Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan

- Kamis, 6 Agustus 2020 | 14:37 WIB
Ilustrasi sektor pertanian. (Pexels/Pixabay)
Ilustrasi sektor pertanian. (Pexels/Pixabay)

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan aturan baru yang mengatur nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) dalam pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan.

Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/PMK.010/2020. Dalam beleid itu, otoritas fiskal mengatur secara khusus nilai lain sebagai DPP dalam pengenaan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, mengungkapkan kebijakan tersebut dibuat untuk memenuhi asas keadilan. Sebab sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan selama ini menjadi salah satu sektor yang memiliki nilai keekonomian yang sangat besar, namun kontribusi terhadap pajak dinilai belum optimal jika dibandingkan dengan sektor lainnya.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan memberikan andil bagi PDB sebesar 12,72%. Sementara industri pengolahan dan perdagangan masing-masing memberikan kontribusi 19,70% dan 13,01%. 

Selisih yang tidak begitu besar ini ternyata tidak dibarengi dengan kontribusinya pada sektor pajak. Justru sektor pengolahan dan perdagangan terkena pajak yang begitu tinggi dibandingkan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan.

"Dalam konteks beban penerimaan pajak kita ingin ada proporsionality. Ada sektor yang pendapatannya besar tapi pajaknya kecil. Selama ini sektor yang paling berkontribusi pada pajak adalah perdagangan dan pengolahan. Sektor pertanian sangat kecil pada pajak," ujar Febrio di Jakarta, Kamis (6/8/2020). 

Febrio berharap, melalui penerbitan PMK tersebut, nantinya ada kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha pada sektor-sektor tersebut untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Diakuinya bahwa selama ini pelaku usaha yang bergerak di sektor ini masih kerap menemui kendala administrasi untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Oleh sebab itu pemerintah turun tangan untuk memberikan petunjuk sah terkait hal tersebut.

"Kita keluarkan PMK ini agar ada kepastian hukum yang makin jelas. Ini bukan petani kecil yang kita bicarakan tapi ini (kebijakan) ini untuk petani besar yang kita bicarakan dengan nilai (pendapatan) Rp4,8 miliar ke atas. Dalam konteks petani besar ada ketidakpastian waktu itu, makanya kita ingin address agar ada kepastian hukum yang jelas," ungkapnya.

Lebih lanjut, dalam PMK ini dipertegas apabila pengusaha kena pajak (PKP) memilih untuk menggunakan nilai lain sebagai DPP maka nilai lain yang digunakan adalah 10% dari harga jual. Dengan tarif PPN sebesar 10%, maka secara efektif besaran PPN yang dipungut hanyalah sebesar 1% dari harga jual.

Namun , pajak masukan atas perolehan barang kena pajak/jasa kena pajak (BKP/JKP) yang berhubungan dengan penyerahan barang hasil pertanian tertentu ini tidak dapat dikreditkan apabila PKP memilih menggunakan nilai lain sebagai DPP. PKP yang memilih untuk menggunakan DPP nilai diwajibkan untuk menyampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar.

Pemberitahuan harus disampaikan paling lama pada saat batas waktu penyampaian surat pemberitahuan (SPT) masa PPN masa pajak pertama dalam tahun pajak dimulainya penggunaan DPP nilai lain. Meskipun PKP sudah menyatakan menggunakan DPP nilai lain dalam pemungutan PPN, PKP juga dapat menggunakan kembali harga jual sebagai dasar pengenaan pajak atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.

"Jadi sejak putusan MA No 70 tahun 2013 yang mencabut barang hasil pertanian dari list yang dibebaskan PPN, hingga saat ini petani masih merasa kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Makanya ada PMK ini untuk menjadi solusi penyelesaian," pungkasnya.

 

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X