Pengamat Pertanyakan Tarif Riil yang Jadi Acuan Diskon Tiket Pesawat

- Kamis, 27 Februari 2020 | 11:46 WIB
Ilustrasi penumpang turun dari pesawat usai melakukan perjalanan udara. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Ilustrasi penumpang turun dari pesawat usai melakukan perjalanan udara. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)

Pemerintah memberikan stimulus ratusan miliar untuk sektor penerbangan, sebagai langkah untuk meminimalisir dampak penyebaran virus corona atau Covid-19. Namun, ada hal yang jadi polemik.

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyatakan, penumpang akan menikmati diskon antara 40-50 persen dari tarif riil (satu harga) yang berlaku.

Pengamat Aviasi Gatot Raharjo, mempertanyakan tarif riil yang jadi acuan diskon tiket pesawat. Pasalnya, dalam dunia penerbangan tak mengenal tarif riil.

Menurutnya, tarif penerbangan domestik diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 106 tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Dalam peraturan itu, tidak mengenal tarif riil untuk satu rute penerbangan. 

Gatot menerangkan, yang ada adalah tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB). TBA sendiri adalah 100 persen untuk maskapai layanan penuh, 90 persen untuk layanan menengah dan 85 persen untuk makapai tanpa layanan. Sedangkan TBB adalah sebesar 35 persen dari TBA masing-masing maskapai sesuai jenis layanannya.

TBA dan TBB diformulasikan Kementerian Perhubungan dengan memperhatikan daya beli masyarakat dan kesehatan maskapai. Jika tiket dijual dengan TBA, diasumsikan masyarakat masih kuat membeli. Sebaliknya jika dijual dengan TBB, maskapai masih tetap mendapatkan keuntungan.

"Maskapai bisa menjual tarif penerbangan di antara TBA dan TBB. Namun dalam kenyataannya, maskapai menjual tiket dengan tarif bervariasi, disesuaikan situasi dan kondisi saat itu," ujar Gatot saat dikonfirmasi Indozone, Kamis (27/2/2020).

Ia mengungkap, dalam dunia marketing, tiket pesawat masuk dalam barang perishable atau tidak tahan lama. Tiket harus terjual beberapa saat sebelum penerbangan dilakukan dan tidak dapat dijual lagi setelah itu.

"Jadi, maskapai pun pasti akan selalu mencari jalan agar tiket selalu terjual, minimal hasil penjualan bisa menutup ongkos produksi (BEP). Jika tidak, maka akan jadi kerugian bagi maskapai tersebut," tuturnya. 

Maskapai, imbuh Gatot, biasanya menjual tiket lebih murah saat masih jauh dengan jadwal penerbangan untuk menarik penumpang, dan semakin mahal saat semakin dekat jadwal penerbangan. 

"Namun bisa juga harga dibanting saat mendekati deadline jadwal terbang, jika ternyata pendapatan belum memenuhi BEP. Tiket dijual murah agar bisa menutupi biaya. Karena apa? Bagi maskapai berjadwal, jadwal penerbangan harus ditepati (dijalankan), karena kalau tidak, akan kena sanksi dari regulator (pemerintah)," tuturnya. 

Sebelumnya, Gatot menilai insentif untuk sektor penerbangan dari pemerintah Indonesia punya potensi salah sasaran. Pasalnya, tak ada acuan jelas soal tarif yang akan diberi diskon. 

Dia meminta Pemerintah Indonesia untuk mengawasi secara ketat penerapan stimulus tersebut. Dengan harapan, kebijakan itu benar-benar sesuai dengan tujuannya.

Artikel Menarik Lainnya:

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X