Pilpres 2024, Politik Identitas Masih Bercokol, Kandidat Kuat Masih dari Pulau Jawa

- Kamis, 1 Desember 2022 | 16:18 WIB
Arifin Saleh Siregar dan Shohibul Anshor Siregar dalam acara Talk Show di Medan, Rabu (31/11/2022). (HO)
Arifin Saleh Siregar dan Shohibul Anshor Siregar dalam acara Talk Show di Medan, Rabu (31/11/2022). (HO)

Pemilihan Umum 2024 sudah berada di depan mata. Siapa kandidat next Presiden pun sudah dimunculkan untuk melihat kekuatan elektabilitas di depan publik.

Namun tanpa bermaksud menyinggung SARA, persoalan calon presiden RI masih tetap berkutat pada isu calon presiden dari Jawa atau Non-Jawa.

"Sudah 76 tahun kita merdeka, sudah tujuh presiden, namun baru satu presiden kita yang bukan orang kita Jawa, itu pun masih ada keturunan Jawanya, Bapak BJ Habibie. Namun, kita bukan bermaksud untuk membicarakan secara SARA ya, kita hanya bercerita soal faktanya," ujar Dekan FISIP UMSU Arifin Saleh Siregar dalam Talk Show di Medan, Rabu (31/11/2022).

Pada talkshow Tribun Network bertajuk 'Memilih Damai, Presiden Ke-8 Haruskah Kembali Perdebatan Jawa vs Non-Jawa acara tersebut digelar di Aula Gedung Rektor UMSU', ada empat narasumber, yakni Dekan FISIP UMSU Arifin Saleh Siregar, Dosen Universitas Indonesia Panji Anugrah Permana, Pengamat Sosial Politik dan Direktur nBasis Shohibul Anshor Siregar, dan Founder Lingkar Madani, Ray Rangkuti.

Ia menyebut secara konstitusional tidak pernah disebutkan untuk berfokus pada suatu suku atau suatu agama menjadi seorang presiden.

"Hanya saja semasa kita berada di bawah konstitusi sebelum amandemen, seingat saya itu memang ada satu frase mengatakan, presiden adalah orang Indonesia asli. Kategori asli ini yang menjadi pertanyaan juga, asli yang bagaimana ceritanya,” katanya. 

Menurut pandangan Arifin hal itu tidak terlepas dari politik Pemerintah Hindia Belanda dulu, yang membagi golongan penduduk Indonesia ini menjadi tiga, ada golongan Eropa, golongan Timur Asing atau Tionghoa, dan Bumi Putra. 

“Nah, saya pikir penduduk aslinya ini diambil dari bumi putranya itu. Kita tidak ingin bangsa kita ini dipimpin oleh orang yang tidak memahami Indonesia," paparnya. Namun, cerita itu tak berlaku pada konstitusi setelah amandemen.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa menjadikan hal tersebut penting untuk dibahas, sebagai bentuk literasi politik kepada generasi muda khususnya. Terkait hal tersebut, Shohibul mengatakan tidak bisa dihindari.

"Berbicara Jawa vs Non-Jawa, presiden kita disebut dari awal tujuh orang benar tidak. Ada yang kenal tidak dengan Syafruddin Prawiranegara dan Mr Assat. Saya tidak bisa membayangkan Indonesia, tanpa kedua nama ini. Tapi, dari kampung hingga kemanapun yang dikenal hanya tujuh presiden, dua lagi ke mana,” katanya.

Ia menambahkan, pesimistis pada 2029 akan ada presiden non-Jawa. Menurutnya, wacana itu itu masih jauh. Masih ada akar budaya dan stigma yang harus dilangkahi.

Di Indonesia masih sangat kerap ada tudingan politik identitas. Fukuyama dalam teorinya tidak bisa dibantah mengenai itu. 

Berbeda pendapat dengan Ray Rangkuti Founder Lingkar Madani. Menurutnya, ke depan pemimpin dipilih tidak berdasarkan etnis tertentu, namun dari prestasi yang pernah dilakukan.

"Jawa dan non-Jawa itu jangan dilihat dari segi geografik, jangan juga dilihat dari segi etnik. Di Pulau Jawa termasuk beragam suku bangsa ada, sama seperti di sini juga hampir semua suku bangsa ada," jelasnya.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X