Buntut G30S: Para Petani Tak Berdosa Dibantai, Kepala Dipenggal dan Dipamerkan di Jalan

- Rabu, 30 September 2020 | 11:25 WIB
Pembantaian orang-orang tertuduh simpatisan PKI pada 1965. (ist)
Pembantaian orang-orang tertuduh simpatisan PKI pada 1965. (ist)

Partai Komunis Indonesia (PKI) boleh jadi memang benar menjadi dalang penculikan dan pembunuhan sembilan perwira Angkatan Darat dan seorang brigadir polisi di Jakarta dan Yogyakarta pada peristiwa berdarah yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965.

Namun, yang tak kalah penting untuk diingat dan diketahui, adalah rentetan pembantaian yang terjadi setelah peristiwa yang lebih dikenal dengan G30S  atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), atau Gerakan Satu Oktober (Gestok) itu.

Ya, setelah pembunuhan para perwira tinggi AD itu, para tentara seolah "kesetanan" dalam melakukan "pembalasan dendam". 

Tidak hanya orang-orang yang memang terlibat dalam peristiwa G30S dan/atau tergabung dalam PKI, orang-orang yang tak terlibat sama sekali pun ikut dibantai.

Mereka adalah orang-orang yang terhimpun dalam paguyuban atau organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI, seperti GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), SOBSI (Sentral Organisasi buruh Seluruh Indonesia), LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), IPI (Ikatan Pelajar Indonesia),  PR (Pemuda Rakyat) yang merupakan metamorfosa dari PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), dan BTI (Barisan Tani Indonesia).

Selain itu, orang-orang yang dianggap atau dituduh simpatisan PKI, atau berideologi kiri atau komunis, sekalipun tidak tergabung dalam organisasi apapun, juga ditangkapi dan dipenjarakan di Pulau Buru, dan sebagian lainnya juga dibantai.

Yang lebih tragisnya lagi, pembantaian tidak cuma terjadi di Jakarta atau Yogyakarta, tempat di mana pembunuhan perwira terjadi, tetapi juga di daerah-daerah Indonesia lain.

Di Flores, Nusa Tenggara Timur, misalnya, petani-petani tak berdosa, dibantai dengan sadis hanya karena diketahui tergabung dalam Barisan Tani Indonesia. Ironisnya, para petani itu dibantai usai ditunjuk oleh pastur saat tengah beribadah di gereja.

Pembantaian itu disaksikan langsung oleh Ben Mboi, mantan anggota resimen Para Komando Angkatan Darat yang kemudian juga pernah menjadi Gubernur NTT (1978-1988), seperti dicatat Martin Aleida dalam bukunya, 'Romantisme Tahun Kekerasan' (2020).

"Di Flores, saat umat sudah memenuhi gereja, dengan mengabaikan bisikan kasih sayang dari Roh Kudus, di otak dan hatinya, seorang pastur menunjuk satu per satu, siapa di antara umatnya, yang duduk dengan setia itu, yang menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah," tulis Martin pada halaman 18.

Padahal, petani-petani itu sama sekali tak tahu menahu apa yang terjadi di Jakarta ketika para jenderal dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

"...ujung jari pastur itu berubah tidak menjadi tautan doa, tetapi perintah pembinasaan yang dikutuk Bapa di surga. Korban adalah mereka yang tak berdaya, tak punya kesempatan untuk membela diri terhadap tuduhan terlibat dalam pembunuhan para jenderal nun jauh di seberang laut, di Jakarta," lanjut Martin pada halaman 19.

Peristiwa kelam itu pun dikutuk oleh Ben Mboi, dalam memoarnya yang berjudul "Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja' (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011). 

"Benar-benar merupakan the blackest and the balckest months of my life, dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin," tulis mantan anggota resimen Para Komando Angkatan Darat itu dalam memoarnya.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X