Masyarakat perlu mengatur keuangannya dengan baik dan bijak. Tujuannya tentu agar pemasukkan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam mengatur keuangan, ada satu hal yang tak boleh terlewatkan yaitu menyisihkan penghasilan untuk dana darurat.
Sesuai dengan namanya, dana darurat dipakai hanya dalam kondisi darurat. Entah itu karena sakit atau situasi tak terduga seperti sekarang ini saat mewabahnya virus corona baru.
Adanya Covid-19 tak dipungkiri turut berpengaruh pada penghasilan masyarakat yang berkurang, terutama pekerja harian. Sementara pemasukkan berkurang, pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari jumlahnya tetap sama atau bahkan bertambah. Jika ada dana darurat, kekurangan penghasilan itu sementara bisa ditutupi.
Menurut Co-Founder dan Vice-CEO Jouska Indonesia, Farah Dini Novita, kebutuhan dana darurat pada setiap orang berbeda-beda. Hal itu tergantung dari profil risiko seperti jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya. Dana darurat berasal dari aset lancar atau aset liquid seperti tabungan, deposito, dan mata uang asing.
"Dana darurat itu total yang dipunya sekarang dari aset lancar. Kalau sekarang enggak punya penghasilan, kira-kira bisa bertahan berapa lama dengan aset lancar itu," ujar Farah dalam telekonferensi, Kamis (26/3/2020).
Dirinya mencontohkan, misal pengeluaran seseorang per bulan Rp 5 juta. Lalu jumlah aset lancar yang dimiliki hanya Rp 10 juta. Artinya, orang tersebut hanya bisa bertahan selama 2 bulan. Padahal untuk amannya dana darurat harus bisa membuat seseorang bertahan selama 12 bulan. Oleh karena itu, selagi ada penghasilan yang tetap, jangan lupa menyisihkannya untuk dana darurat karena tidak diketahui apa yang akan terjadi di masa depan.
"Penempatan dana darurat juga harus di tabungan atau deposito yang terpisah dari transaksi harian. Sebab kadang tendensinya ketika melihat ada uang di tabungan, gatal untuk menghabiskan. Jadi harus dipisahkan agar tidak terpakai kecuali darurat," pungkas Farah.