Di kompleks Masjid Agung Solo, ada alat penanda salat zuhur dan asar yang mengandalkan pantulan sinar matahari. Alat penanda tersebut dikenal dengan nama jam matahari atau jam istiwa, ada pula yang menyebutnya bencet.
Jam istiwa dilapisi pelat kuningan berbentuk cekung dengan guratan garis-garis dan angka 1 hingga 12 yang berfungsi sebagai penunjuk waktu salat. Sedangkan logam seperti pipa yang berada di samping jam istiwa ini berfungsi sama, sebagai penguat penunjuk waktu salat.
Cara membaca jam matahari ini enggak terlalu sulit. Yang utama harus ada cahaya matahari tepat di atas jarum penanda tegak lurus, lalu kamu bisa melihat di angka berapa bayangan itu jatuh.
“Tetapi karena mengandalkan sinar matahari, kelemahan jam istiwak tersebut jika cuaca mendung ataupun hujan tidak dapat dibaca waktunya,” jelas Muhammad Alim, Pengurus Takmir Masjid Agung Solo kepada Tim IDZ Creators.
Jam matahari dibuat oleh Keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat, pada masa Pakubuwono VIII sekitar tahun tahun 1784 untuk penanggalan Jawa atau 1855 Masehi. Jam masih berfungsi sampai sekarang, meskipun jika dikonversi ke dalam Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) terpaut sekitar 20-25 menit dari jam zaman sekarang.
Jam tanpa mesin yang berada di depan Kantor Pengurus Masjid Agung kini jadi benda cagar budaya dan menjadi salah satu daya tarik saat orang berkunjung ke Masjid Agung Solo.
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join IDZ Creators dengan klik di sini.
