Kegiatan melukis biasanya dilakukan pada media kanvas. Namun di Tulungagung ada satu budaya unik yang disebut Cethe atau Nyethe. Cethe adalah ampas kopi, sedangkan nyethe adalah kegiatan melukis atau mengoleskan ampas kopi pada batang rokok.
Saat nyethe, biasanya ampas kopi dicampur dengan susu untuk membuat motif yang detail. Setelah kopi habis, ampas kopi yang tertinggal digunakan untuk bahan melukis di rokok. Jenis kopi yang biasanya digunakan untuk nyethe adalah kopi susu dan kopi ijo. Kopi ijo sendiri merupakan kopi khas Tulungagung. Jenis kopi tersebut merupakan jenis kopi favorit karena menghasilkan tekstur yang halus dan mudah dibentuk serta mudah menempel pada batang rokok.
Budaya nyethe muncul sejak tahun 80-an yang dipopulerkan oleh para petani di Tulungagung. Dahulu, para petani tersebut biasanya melakukan nyethe di sela-sela waktu ngopinya setelah berkebun atau menggarap sawah. Kebiasaan petani tersebutlah yang akhirnya membuat nyethe menjadi budaya turun-temurun bahkan masih sering dijumpai sampai sekarang.
Motif pada nyethe terinspirasi dari motif batik, makanya olesan-olesan dari ampas kopi atau cethe membentuk motif batik. Nyethe tak hanya mengoleskan ampas kopi ke rokok, tapi menjadi aktivitas melukis. Kalau hasil lukisannya bagus, terkadang malah jadi pajangan.
Proses melukis menggunakan ampas kopi atau nyethe terbilang cukup mudah. Alat yang dibutuhkan untuk melukis adalah tusuk gigi, silet, atau sendok kopi.
Salah satu kelebihan nyethe adalah dapat membuat rokok awet.
Ngopi dan nyethe adalah 2 hal yang akan banyak kalian jumpai ketika di Tulungagung. Tak hanya orang tua, banyak kalangan muda yang juga memiliki hobi nyethe disela-sela waktu ngopinya.
Budaya nyethe membuktikan bahwa ampas kopi dapat menjadi sebuah karya seni. Karena hal inilah, Tulungagung mendapat julukan “Kota Cethe” dan “Kota Seribu Warung Kopi” karena warung kopi banyak tersebar di setiap sudut Tulungagung.