Curhatan Penyandang Tuli: Sakit Hati karena Pemaksaan Bicara dan Komunikasi saat Pandemi

- Rabu, 8 Desember 2021 | 12:40 WIB
Ilustrasi komunikasi bahasya isyarat penyandang Tuli. (Freepik/Freepik).
Ilustrasi komunikasi bahasya isyarat penyandang Tuli. (Freepik/Freepik).

Masih ingat dengan kejadian salah satu pejabat negara yang meminta seorang Tuli untuk berbicara yang kemudian menjadi viral di media massa. Meskipun telah menjelaskan alasan sesungguhnya yang berkaitan menguji alat bantu dengarnya, kejadian tersebut tetap mengundang reaksi keras dari publik. Termasuk dari para penyandang Tuli lainnya.

Salah satunya adalah Nimas Zahra, seorang gadis muda yang mengalami masalah pendengaran semenjak lahir. 

Dalam pengakuannya di sebuah postingan Instagram, ia mengaku merasa tersinggung dan sakit hati atas tindakan itu. Indozone pun menghubungi Nimas melalui pesan di Instagram dan meminta izin untuk menaikkan curhatannya, seperti yang tertulis di bawah ini. 

"Hai, saya seorang Tuli dari lahir, saya merasa sakit hati dan tersinggung melihat berita berkaitan Bu R**** itu, marah banget rasanya karena Bu R**** memaksa untuk berbicara, ibarat beliau memaksa netra utk dapat melihat dan lain-lain.

Ia juga menyayangkan bila pemaksaan tersebut seolah tidak menghargai bahasa isyarat yang indah bagi para Tuli lainnya.

"Ibu itu sangat audisme dan ngga menghargai hak Tuli. Ibu juga ga tau kalau bahasa isyarat itu bahasa indah (plus) istimewa bagi temen-temen Tuli," tambahnya.

-
Ilustrasi komunikasi bahasya isyarat penyandang Tuli. (Freepik/Freepik).

Baca Juga: Suka Menulis, Inilah Kumpulan Quotes Mendiang Novia Widyasari yang Menyentuh

Di luar kasus pemaksaan bicara tersebut, salah satu Tuli lainnya juga mengungkapkan perasaan hatinya akan susahnya dirinya dalam berkomunikasi dengan orang sekitar yang tidak memahami apa yang ia alami. Khusus di saat pandemi, dimana ia tidak bisa melihat gerakan bibir lawan bicaranya karena banyak yang menggunakan masker.

"Saya penyandang Tuli sejak SMP, dan bagi kami komunikasi itu hal yang tidak mudah kami lakukan. Apalagi di saat pandemi melanda, orang-orang bermasker sedangkan kota harus mengandalkan bahasa bibir. Tau apa yang aku rasakan? Down, takut, kawatir, akan merepotkan orang lain harus buka maskernya, karena bahasa tubuh saja tidak cukup membuat kami 100 persen mengerti," ungkapnya.

Banyak hal yang sebenarnya belum kita mengerti tentang hal yang berhubungan dengan pemahaman kita tentang tuli dan penyandang cacat lainnya. Kita tak bisa menyembuhkan mereka dari disabilitasnya, namun setidaknya membantu dan mendukung sudah menjadi satu cara untuk memahami mereka.

"Tolong, bantu dan support kami bukan memaksa kami melakukan sesuatu yang malah terasa menyiksa kami," tambah Ivana Singgih.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

Makna dan Kegunaan 7 Sakramen dalam Gereja Katolik

Selasa, 26 Maret 2024 | 08:15 WIB

4 Peran Kerjasama Pendidikan oleh Negara ASEAN

Kamis, 21 Maret 2024 | 18:15 WIB
X