Nurhayati Nurmalasari atau biasa disapa Nungki awalnya hanya pekerja kantoran biasa di sebuah perusahaan asuransi. Namun karena sering berdiskusi dengan suaminya yang merupakan dosen di Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan sekaligus peneliti kedelai, Nungki menjadi tahu kalau ternyata Indonesia menghasilkan beragam jenis kedelai lokal namun kurang terangkat reputasinya.
Lebih dari 90 persen tempe yang dijual di negara kita menggunakan bahan baku kedelai impor. Mayoritas termasuk jenis GMO (Genetically Modified Organism) atau hasil rekayasa genetika.
Padahal di Jepang dan negara Uni Eropa bahan baku kedelai transgenik atau mengandung GMO sudah dilarang peredarannya. Tempe yang dijual di negara tersebut juga wajib menyantumkan label Non GMO pada kemasannya, dengan alasan perlindungan kesehatan bagi yang mengonsumsinya.
Hingga pada 2015 lalu akhirnya Nungki terdorong untuk memproduksi tempe sendiri. Berbekal jaringan suaminya yang merupakan peneliti kedelai dan pembina petani kedelai di beberapa daerah Jawa Tengah, Nungki mencoba mengolah kedelai lokal produk dari petani binaan tersebut.
“Konsumen itu rata-rata nggak ngerti kalo tempe yang mereka konsumsi yang dibeli di pasar bahan bakunya dari kedelai impor GMO. Saya pun dulu juga enggak tahu apa sih GMO itu. Menurut saya sebagai muslim itu sudah bukan Sunatullah lagi. Yang bibit kedelai itu disisipi gen-gen dari organisme lain, jadi kedelai itu jadi tahan hama, serangga jadi nggak doyan sama kedelai. Dulu saya sebagai orang awam saya berpikir serangga aja nggak doyan, kita manusia suruh makan.” ucap Nungki
Awal mulanya Nungki meminjam pabrik temannya di Bantul, dalam pembuatan produk tempe ini. Karena menumpang, Nungki hanya bisa memproduksi kedelai untuk diolah menjadi tempe segar dalam kisaran 5 kilogram / hari.
“Kami mulai mencoba membuat tempe itu awalnya tidak membuat sendiri, kita maklon ke teman dan kita mencari pasar di Yogyakarta dan sekitarnya. Alhamdulillah sekarang sudah berdiri sendiri membuat produksi di Prambanan.” Kata Nungki.
Selama dua tahun lebih Nungki menekuni usahanya sambil pelan-pelan mengumpulkan modal. Sampai akhirnya 2017 lalu ia bisa membuat pabrik sendiri di daerah Prambanan, Klaten dan memindahkan semua produksinya ke pabrik miliknya.
Dengan label Attempe, produk tempe yang dikembangkan oleh Nungki menggunakan kedelai lokal Non GMO.
Kepada Tim IDZ Creators, Istrini Puji Hastuti, Nungki menyebut bahwa membuat tempe ada seninya. Karena membuat tempe itu dengan perasaan seperti orang memasak. Kebetulan background Nungki dari Fakultas Teknologi Pertanian jadi ia sudah terbiasa mengolah bahan pangan.
Akhirnya ia mempelajari cara membuat tempe yang bagus, membuat tempe yang bersih, higienis, dan yang jelas membuat produksi tempe dengan zero waste, pabrik Attempe sudah enggak punya limbah lagi.
Meski sudah berhasil membuat pabrik sendiri, bukan perkara mudah memasarkan Attempe ke pasaran.
“Dalam memasarkan produknya agak sedikit berdarah-darah, karena harga kedelai lokal itu lebih tinggi dari harga kedelai impor GMO. Awalnya saya mulai menjual di pasar tradisional dan belum bisa diterima karna faktor harga, akhirnya beralih ke pasar modern. Pelanggan pasar modern biasanya lebih ‘memilih kualitas’ , harga mungkin nomor dua.” Cerita Nungki.
Berawal dari nol, kini produk Attempe sudah masuk ke toko-toko retail modern, restoran dan rumah sakit.