Kawin Kontrak Menurut Pandangan Hukum Indonesia dan Islam

- Senin, 8 November 2021 | 14:38 WIB
Ilustrasi kawin kontrak (Pexels)
Ilustrasi kawin kontrak (Pexels)

Praktik kawin kontrak sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian masyarakat Indonesia. Meski fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1997 mengharamkan kawin kontrak, namun praktiknya masih tetap terjadi hingga saat ini.

Kementerian Agama dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021) mengungkapkan motif pencurian buku nikah yang terjadi belakangan ini salah satunya untuk diperjualbelikan ke penyedia jasa kawin kontrak.

Buku nikah tersebut akan digunakan untuk pasangan yang melakukan perkawinan ilegal dengan perjanjian batas waktu tertentu.

Pelaku kawin kontrak sering dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) yang rata-rata imigran Timur Tengah, lalu menikahi perempuan-perempuan lokal dengan perjanjian batas waktu tertentu.

Pelaku kawin kontrak biasanya akan menjamin hidup perempuan yang dinikahkan, mulai dari tempat tinggal hingga biaya hidup.

Kawin kontrak menurut hukum Indonesia

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai bentuk ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan merupakan suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan. Demikian juga dengan perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Pasal 1320 Kitab UU Hukum Perdata mengatur tentang syarat sah perjanjian. Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

  • Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif);
  • Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum (unsur objektif).

Sementara, Pasal 1332 Kita UU Hukum Perdasar menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat diperdagangkan, namun dalam perjanjian kawin kontrak yang dijadikan objek perjanjian adalah perkawinan yang dibatasi waktu bukanlah suatu barang dan bisa diperdagangkan.

Hal itu tentu saja melanggar syarat objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari suatu perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.

Kawin kontrak menurut hukum Islam

Dari pendapat mayoritas ulama, ada empat jenis pernikahan yang tidak sah atau rusak, yaitu sebagai berikut:

  • Nikah syighar, yaitu menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar
  • Nikah mut'ah, yaitu pernikahan yang dilakukan sampai batas waktu tertentu
  • Menikahkan perempuan yang dalam pinangan laki-laki lain
  • Nikah muhalil, yaitu siasat penghalalal menikahi mantan istri yang sudah ditalak baik alias talik yang tak bisa dirujuk lagi

Sementara itu, berdasarkan aturan dari empat mazhab, yakni Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali, kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah jika dilakukan.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

3 Ayat Alkitab Tentang Masa Depan

Selasa, 16 April 2024 | 17:00 WIB
X