Bukan rahasia lagi kalau revolusi industri telah membawa perubahan besar sekaligus bencana bagi umat manusia.
Salah satunya seperti penderitaan tak terhingga yang dirasakan para gadis pekerja pabrik korek api di London, Inggris.
Dikutip dari The Guardian, pada tahun 1860-an ada beberapa perusahaan pembuat korek api di London Timur. Dua di antaranya Bryant and May yang termasuk paling besar.
Sayang dalam proses produksinya, Bryant and May menggunakan fosfor putih beracun.
Selain itu, dua perusahaan ini juga mengeksploitasi pekerja dengan menurunkan upah dan memaksa buruh yang mayoritas wanita untuk memproduksi korek api lebih dari 14 jam sehari.
Dampak Buruk Fosfor Putih
Ujung korek api terbuat dari fosfor putih agar dapat menyala dengan baik. Namun uap yang dikeluarkan oleh senyawa ini sangat beracun dan mematikan bagi pekerjanya.
Efeknya, sebagian besar gadis-gadis buruh itu menunjukkan gejala aneh yang disebut rahang Phossy.
Gejala utama yang tampak jelas adalah tulang rahang mulai membusuk, mengeluarkan bau yang tidak sedap hingga menyebabkan cacat pada wajah dengan rasa sakit yang tak tertahankan.
Baca juga: Sejarah Kelam Panjat Pinang, Simbol Penindasan dan Warisan Belanda
Sayangnya pada saat itu, tidak ada pengobatan pasti selain mencabut rahang sebelum efeknya menyebar ke otak dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Namun tetap saja mencabut rahang, beresiko memperpendek umur gadis-gadis itu.
Aksi Mogok Gadis Korek Api
Annie Besant dalam artikelnya "White Slavery in London" mengungkap aksi mogok yang dilakukan gadis-gadis buruh korek ap telah mendapat perhatian dari pemerintah, media, dan aktivis HAM.
Pengusaha yang takut kehilangan bisnis memutuskan untuk mengambil langkah. Mereka menyerahkan kertas perjanjian kepada para buruh.
Mereka diminta untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bekerja dalam kondisi terbaik. Juga, upah tidak pernah dipotong atau ditunda.