Mengenal Kaghati Kalope, Layang-Layang Tertua di Dunia

- Minggu, 11 Oktober 2020 | 10:02 WIB
Layang-layang Kaghati yang ada di Museum Barughano Wuna, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. (INDOZONE/Fahmy Fotaleno)
Layang-layang Kaghati yang ada di Museum Barughano Wuna, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. (INDOZONE/Fahmy Fotaleno)

Hingga saat ini, permainan layang-layang masih terus dimainkan. Meski perkembangan teknologi terus menggeliat, namun layang-layang masih punya tempat di masyarakat. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun masih memaikannya.

Tapi tahukah kalian layang-layang tertua di dunia itu seperti apa bentuknya dan ada dimana? Mungkin belum banyak yang tahu juka layang-layang tertua itu ada di Indonesia tepatnya di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Masyarakat setempat menyebut layangan ini dengan sebutan ‘Kagahti Kalope’.

Kepada Indozone, Ramadan, penjaga Museum Barughano Wuna di Kabupaten Muna mengatakan itu berarti layang-layang dalam bahasa setempat. Perbedaan Kaghati dengan layangan biasa yakni terletak pada bahannya yang terbuat dari daun. Iya benar, daun! Bukan kertas atau kain. Namun daunnya juga punya jenis tertentu yakni daun ‘Kalope’ atau ubi hutan. Olehnya itu layangan ini disebut Kaghati Kalope.

“Kaghati ini dibuat secara tradisional dan bahannya pakai daun kolope atau umbi hutan. Untuk rangkanya pakai kulit bambu untuk rangka, benangnya bukan pakai benang tok tapi pakai serat nanas hutan yang dibuat sedemikan rupa sehingga menjadi tali,” ujar Ramadan.

Ia menyebut, masyarakat meyakini kalua kaghati ini sudah berusia ratusan tahun dan menjadi layang-layang tertua di dunia.

“Ini layang-layang tertua di dunia karena usianya sudah ratusan tahun. Dulu Kaghati ini sering dimainkan petani saat menjaga kebun,” ungkapnya.

-
Lukisan layangan Kaghati Kalope di salah satu gua di Kabupaten Muna yang disebut-sebut sudah berusia ribuan tahun. (Istimewa)

Mengutip dari Wikipedia, Kaghati ini kedap air sehingga tahan berada di udara selama berhari-hari atau sekehendak pemiliknya kapan pun ingin diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, pemilik layang-layang akan menggelar syukuran. Hobi ini telah ada sekitar 400 tahun di Muna. Bahkan, Pulau Muna telah beberapa kali menjadi tuan rumah festival layang-layang.

Pesona dan keindahan layang-layang asal Sulawesi Tenggara ini menjadi buah bibir dimana-mana saat kemunculannya di festival layang-layang internasional yang diadakan di Prancis pada tahun 1997.

Selain Kaghati, masyarakat Pulau Muna juga mengenal layangan bernama kamanu-manu. Layang-layang ini terbuat dari tiga helai daun kolope yang dirangkai dengan lidi (lio) dari bambu, dan dipasangi bulu ayam di sisi kiri dan kanannya.

Setiap layangan memiliki ukuran kamumu masing-masing sesuai seleranya. Suara yang dihasilkannya juga menjadi spesifik dan dapat mudah dikenali. Kamumu adalah semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas, terutama saat layangan dibiarkan terbang pada malam hari.

Bagi yang sering mendengar bunyi kamumu, dia akan segera dapat menebak pemilik layang-layang yang sedang terbang di langit.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Terkini

8 Arti Ular Masuk Rumah Menurut Primbon Jawa

Senin, 15 April 2024 | 12:00 WIB
X